DIdik Arif Cahyono Gokilll Brooowwww

Rabu, 09 April 2014

MAKALAH DPRD DI MASA ORDE BARU HINGGA REFORMASI

 
BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas dari tutor mata kuliah Legislatif Indonesia. Makalah ini disusun berdasarkan tugas kelompok, dan kelompok kami mendapat bagian menyusun materi mengenai Legislatif di Tingkat Lokal. Di mana pada materi ini di bagi menjadi beberapa kegiatan belajar yang masing-masing akan di bahas satu-persatu.
Di dalam materi ini, akan membahas tuntas mengenai Dewan Perwakilan Rakyat yang berada dalam tingkat daerah/lokal. Di mulai dari pada masa Orde Baru hingga Reformasi serta membahas tentang mekanisme pembuatan kebijakan DPRD.


1.2   Rumusan Masalah

1.      Bagaimana Sejarah DPRD pada masa  Orde Baru ?
2.      Bagaimana Sejarah DPRD pada masa Reformasi ?
3.      Bagaimana Mekanisme Pembuatan Kebijakan di DPRD ?


1.3  Tujuan

1.      Memenuhi tugas dari tutor mata kuliah Legislatif Indonesia.
2.      Memberikan penjelasan materi secara tertulis kepada mahasiswa dan tutor.
3.      Menambah pengetahuan mengenai Badan Perwakilan Rakyat Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN


A.    DPRD Masa Orde Baru
Kedudukan dan peran DPRD pada masa orde baru di atur melalui UU No.5 Th.1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. Dalam UU tersebut juga di atur tentang hak dan kewajiban DPRD yang tidak berbeda dengan DPR.
1.      Anggaran
2.      Mengajukan pertanyaan bagi masing-masing anggota
3.      Meminta keterangan
4.      Mengadakan perubahan
5.      Mengajukan pernyataan pendapat
6.      Prakarsa
7.      Penyelidikan
Dalam pasal 30 yang mengatur tentang kewajiban DPRD :
1.      Mempertahankan, mengamankan, serta mengamalkan Pancasila dan UUD ‘45
2.      Menjunjung tinggi GBHN, Ketetapan MPR serta mentaati segala peraturan yang berlaku.
3.      Bersama-sama kepala daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah dan peraturan-peraturan daerah.
4.      Memperhatikan aspirasi dan memajukan  tingkat kehidupan rakyat
5.      Selain itu, DPRD bersama kepala daerah melaksanakan pemerintahan daerah, mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerah dan tugas pembantuan.

Selama pemerintahan orde baru, sebagaimana diketahui DPRD tidak berdaya dalam berhadapan dengan eksekutif. Di karenakan beberapa hal ,diantaranya :
1.      Sistem pemilu yang menempatkan anggota dewan lebih loyal ke partainya.
2.      Peraturan-peraturan yang membelenggu para anggota dewan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
3.      Adanya lembaga recall yang membuat anggota dewan merasa ketakutan untuk dipecat
4.      Kualitas latar belakang yang relatif pendidikannya rendah

B.     DPRD Era Reformasi menurut UU No.22 Tahun 1999
Muncul harapan adanya DPRD yang kuat, yang melaksanakan fungsi dan tugasnya serta mampu mengontrol jalannya pemerintahan. UU No.22 Th.1999 tentang pemerintahan daerah, DPRD menempati posisi yang kuat dan setara dengan posisi eksekutif. Posisi yang demikian kuat itu karena DPRD dibekali oleh sejumlah hak, yang apa bila dijalankan akan menciptakan mekanisme check and balances .
Hal yang berkaitan dengan hak yang dimiliki oleh DPRD, pada UU No.5 Th.1974 hanya meminta keterangan pertanggungjawaban kepala daerah sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Selain itu posisi DPRD menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengalami beberapa perubahan :
1.      DPRD tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah daerah
2.      DPRD yang memiliki KDH dan dapat mengusulkan pemberhentian KDH kepada presiden
3.      KDH wajib memberikan pertanggungjawaban kepada pada setiap akhir tahun kepada DPRD
4.      DPRD dapat menolak pertanggungjawaban KDH
5.      DPRD dapat memaksa seseorang untuk memberika informasi kepada DPRD

Berikut adalah wewenang DPRD :
1.      Memilih gubernur dan wakilnya, Bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakilnya
2.      Memilih anggota MPR dan utusan daerah
3.      Mengusulkan dan memberhentikan kepala daerah
4.      Bersama kepala daerah, membentuk perda
5.      Bersama dengan kepala daerah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah
6.      Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan perda, peraturan perundang-undangan, pelaksanaan keputusan kepala daerah, pelaksanaan APBD
7.      Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap perjanjian Internasional
8.      Menampung dan menindak lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat

C.     DPRD ERA REFORMASI : MENURUT UU NO.32 TH 2004
Dalam UU No.32 Th 2004 ini posisi DPRD secara politis cenderung lemah dalam berhubungan dengan kepala daerah dan dengan pemerintah pusat.Di karenakan Kepala daerah mempunyai hubungan dengan Pemerintah melalui Gubernur sementara DPRD tidak ada,dan DPRD tidak adanya LPJ Kepala Daerah.
Tugas dan wewenang DPRD dalam UU No.32  Th 2004
1.      Membentuk Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2.      Membahas dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah.
3.      Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan  Perda dan peraturan perundang-undangan lainnya,peraturan daerah,APBD,kebijakan pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah,dan kerja sama internasional di daerah.
4.      Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kpd Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan Kepala Menterin Dalam Negeri melalui  Gubernur  bagi DPRD  kabupaten/kota.
5.      Memiliki wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
6.      Memberian pendapat dan pertimbangan kpd pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian internasional di daerah.
7.      memberikan persetujuan thd rencana kerja sama internasional yang di lakukan oleh pemerintah daerah.
8.      Meminta laporan pertanggung jawaban kepala daerah dalam menyelenggaraan pemerintah daerah.
9.      Membentuk panita pengawas pemilihan daerah.
10.  Memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga yang memberi masyarakat dan daerah.
Hak DPRD yaitu
1.      Interpelasi
2.      Angket
3.      Menyatakan pendapat
Anggota DPRD mempunyai Hak yaitu.
1.      Mengajukan rancangan perda
2.      Mengajukan pertanyaan.
3.      Menyampaikan usul pendapat
4.      Memilih dan di pilih.
5.      Membela diri
6.      Imunitas
7.      Protokoler
8.      Keuangan dan administratif.
Bidang- bidang di dalam DPRD
1.      Komisi A yaitu Bidang Pemerintahan
2.      Komisi B yaitu Bidang Perekonomian.
3.      Komisi C yaitu di Bidang Keuangan.
4.      Komisi D yaitu di Bidang Pembangunan.
5.      Komisi E yaitu Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Mekanisme Pembuatan kebijakan di DPRD
A.Peraturan Daerah (Raperda)
Ada dua mekanisme dalam penetapan rancangan peraturan Daerah (Raperda)
1.      Usulan raperda berasal dari eksekutif
2.      Usulan raperda dari legislatif
Untuk membahas raperda ini ada 4 tahapan
1.      Kepala daerah menjelaskan dalam rapat paripurna tentang raperda
2.      Pandangan atau pendapat umum dalam rapat paripurna tentang raperda
3.      Pembahasan dalam rapat komisi atau rapat panitia
4.      Pengambilan keputusan dalam sebuah rapat tersebut.
Raperda baru bisa menjadi Perda apabila sudah memperoleh pesetujuan DPRD yang telah ditetapkkan dengan surat keputusan DPRD dan kemudian ditanda tangani oleh kepala daerah
Usulan dari DPRD disampaikan secara tertulis kepada kepala daerah DPRD memiliki inisiatif yang terdiri dari 4 tahapan:
1.      Pimpinan rapat gabungan antara panitia kusus dalam rapat paripurna tentang raperda atas usul DPRD
2.      Pendapat dari kepala daerah dalam rapat tentang raperda
3.      Rapat panitia khusus bersama-sama dengan pejabat daerah yang ditunjuk oleh kepala daerah
4.      Penetapan keputusan


Penyusunan APBD
Secara prosedural APBD disusun bersama-sama antara eksekutif dan legislatif
Eksekutif         :Menyusun rencana anggaran pemerintah daerah yang terdiri dari krencana anggaran pendapatan,dan rencana anggaran belanja rutin maupun belanja pembangunan.
Legislatif         :penyusunan rencana anggaran dewan yang di putuskan terlebih dahulu dalam keputusandewan sebelum di gabungkan dengan anggaran pemerintah daerah dalam sebuah perda tentang APBD
Penyusunan rencana anggaran pendapatan diawali dengan,kepala daerah mengirim surat edaran kepada dinas-dinas seperti dinas pasar,pendapatan daerah.proses penyusunan APBD Dibuat secara bottom-up dari penggalian usulan program dalam musbangdes (Musyawarah pembangunan desa ) kemudian Musbangdes dibawa ke forum UDKP (unit daerah kerja pembangunan) selanjutnya UDKP akan dipilih secara sektoral di dinas pembangunan masyarakat desa (PMD) untuk diserahkan kepada institut yang terkait.
Impelementasi Mekanisme Pembuatan Kebijakan

  Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusahamencapai perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan sebelumnya. Implementasipada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan.Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:

1. tahapan pengesahan peraturan perundangan
2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5. dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.

Proses persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1. penyiapan sumber daya, unit dan metode
2. penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan dijalankan
3. penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.

Oleh karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahandan aplikasi.




Produk dan Kinerja DPRD

Pendahulu kekuasaan, executive heavy di era Orde Baru yang bergeser ke arah legislative heavy di Era Reformasi, menempatkan fungsi lembaga legislatif (DPRD) menjadi sangat strategis. Ketika daerah deberi tanggungjawab mengurus rumah-tangganya sendiri sebagaimana hakikat otonomi daerah, DPRD memperoleh wewenang memproduksi sekaligus mengendalikan berbagai kebijakan di daerah. Pemberian kewenangan tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa keberadaan para anggota DPRD telah memiliki kemampuan sumberdaya yang dipandang telah memahami dan mampu menjalankan fungsi, tugas serta komitmennya sebagai pengemban amanat  rakyat di tengah-tengah tuntutan kehidupan masyarakat yang relatif cepat berubah.
Tidak jarang ditemui bahwa lembaga DPRD sering dijadikan arena pertarungan bagi para politisi dalam mengejar dan meraih berbagai kepentingan para politisi. Bagaimana tidak? Dengan posisi yang memiliki peran sebagai penentu akhir dari produk suatu kebijakan di daerah, para anggota DPRD memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan “tawar-menawar” yang berorientasi pada kepentingan politik bahkan materi yang berimplikasi semakin meluasnya lokus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Konspirasi. Tindakan “kong-kalikong” antara para anggota DPRD dan pihak eksekutif untuk memperoleh pekerjaan proyek daerah, merekrut tanaga honorer daerah tanpa melalui proses yang transparan, melakukan perjalanan dinas dengan biaya yang amat besar tanpa memperhitungkan kemampuan keuangan daerah, meminta berbagai fasilitas dengan mengabaikan kepentingan umum dan mengutamakan kepentingan kelompok politik para anggota DPRD, serta bertindak seolah-olah mewakili rakyat untuk menutupi perilaku oligarkis, merupakan potret yang tidak jarang dipertontonkan kepada rakyat.
Kejadian di beberapa daerah di mana DPRD justru menempatkan diri sebagai lawan eksekutif, kurang etis, dan cenderung picky atau ikut campur dalam urusan administrasi pemerintahan daerah. Bambang Yudoyono (2001) dalam bukunya “Otonomi Daerah” menulis sejumlah perilaku beberapa anggota DPRD, diantaranya: (i) Keluar masuk ruangan kerja para pejabat Pemerintah Daerah (struktural dan fungsional/Pimpro) untuk memeriksa kuitansi, membuka brankas dan menghitung uang yang ada di dalamnya, menunggui pengerjaan jalan (pengaspalan) dengan mengukur ketebalan aspal, serta menanyai Pimpro seperti layaknya seorang inspektur atau pemeriksa; (ii) Meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan setara eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah atau kapling tanah, dan sebagainya, tanpa menghiraukan kemampuan PAD-nya; (iii) Meminta anggaran untuk DPRD dalam jumlah besar tanpa perhitungan yang rasional dan proporsional. Di beberapa daerah ditemui anggaran DPRD yang berjumlah sekitar 60% ke atas dari Pendapatan Asli Daerah. Bahkan ada kabupaten yang anggaran untuk DPRD mencapai 100% sampai 135% dari PAD. Hal ini dinilai jelas tidak etis dan tidak rasional. Karena DPRD dalam kedudukannya sebagai wakil rakyat, jika menggunakan 100% PAD untuk keperluan kegiatannya, berarti tidak menyisakan penggunaan anggaran untuk kepentingan pelayanan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat sebagai tugas umum yang wajib dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; (iv) Dalam menggunakan anggaran, di beberapa daerah dijumpai tidak bersedia diperiksa oleh pejabat dari Inspektorat Daerah. Padahal setiap sumber dana yang berasal dari APBD harus diperiksa oleh perangkat pemeriksa daerah.

Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD adalah kapasitas pribadi anggota DPRD. Kapasitas pribadi ini berkaitan dengan sejumlah pengalaman yang diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja dalam kehidupan yang turut mempengaruhi kualitas diri seseorang sebelum yang bersangkutan menjadi anggota DPRD. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal, serta berbagai aktifitas sebelum menjadi anggota DPRD. Secara empirik, tingkat pendidikan para anggota DPRD amat beragam. Jika dikaitkan dengan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota DPRD berkaitan dengan fungsi-fungsi DPRD, bukan hal yang mustahil dibutuhkan kualitas individu yang benar-benar memahami dan mampu menjalankan perannya sebagai wakil rakyat dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi lembaga DPRD.
Tingkat pendidikan seseorang turut menentukan kapasitas dan kualitas seseorang   dalam mengemban suatu tugas yang dipercayakan kepadanya. Sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan dalam bidang legislasi, yakni membentuk Peraturan Daerah dibutuhkan kemampuan serta ketrampilan legal drafting. Begitu pula dalam perannya menjalankan fungsi anggaran, setiap wakil rakyat dituntut memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan, menganalisis, menentukan alternatif pemecahan masalah, dan memilih salah satu alternatif untuk dituangkan dalam bentuk program (kebijakan publik) yang akan dibiayai APBD dalam rangka menjawab tuntutan kehidupan rakyat di daerah. Kemampuan legal drafting dan kapasitas merumuskan kebijakan publik hanya diperoleh pada jenjang pendidikan minimal strata-1. Tidak semua jenjang pendidikan Strata-1 memperoleh pengetahuan dalam bidang legal drafting maupun perumusan kebijakan publik, apalagi dengan jenjang pendidikan setingkat SMA. Dengan komposisi jenis dan jenjang pendidikan para wakil rakyat di lembaga DPRD yang amat beragam, jelas akan mempengaruhi kemampuan wakil rakyat tersebut dalam mengemban peran secara efektif sesuai dengan fungsi-fungsi lembaga yang teremban padanya. Pengalaman empirik, dengan berbagai kegiatan work-shop atau diklat yang diikuti berulang-ulang oleh para anggota DPRD, tidak cukup mampu mendongkrak kapasitas para anggota DPRD untuk menjalankan fungsi-fungsi lembaga DPRD secara efektif.
Dengan pengalaman yang relatif terbatas bagi anggota DPRD relatif menyulitkan pula dalam membangun komunikasi dengan pihak eksekutif yang rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman dalam bidang tugas mereka. Tidak mungkin dipungkiri bahwa pihak eksekutif relatif lebih menguasai bidang tugas pemerintahan jika dibandingkan dengan anggota DPRD. Hal demikian wajar oleh karena pihak eksekutif merupakan orang-orang yang secara tetap bekerja di lingkungan pemerintahan, sedangkan anggota DPRD secara periodik 5 (lima) tahun sekali mengalami pergantian. Praktis anggota DPRD tidak cukup menguasai secara detail berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, apalagi berbagai data dan informasi berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan lebih banyak berada pada pihak eksekutif.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kinerja DPRD adalah motivasi menjadi anggota DPRD. Motivasi berkaitan dengan kemauan yang tulus dari wakil rakyat untuk benar-benar mengabdi (mengutamakan) kepentingan rakyat. Disadari benar bahwa faktor ini sulit dideteksi, namun paling tidak, motivasi tersebut dapat dinampakkan lewat ekspresi sikap dan tindakan para wakil rakyat yang dapat memenuhi harapan rakyat. Jenis motivasi setiap anggota DPRD akan sangat menentukan kualitas kerja dan kinerjanya. Bagi yang memiliki motivasi sekedar memperoleh pendapatan (motif ekonomi), diyakini kinerjanya tidak maksimal karena lebih dominan mempertimbangkan keuntungan-keuntungan ekonomis dari peran-peran politiknya di lembaga DPRD. Sebaliknya, anggota DPRD yang motivasinya terkait dengan peran-peran ideal dari anggota-anggota legislatif sudah tentu cenderung memberikan (menunjukkan) kinerja kerja yang lebih baik.

KEDUDUKAN KEUANGAN DPRD

PP NO 110 TAHUN 2000 Menjelaskan tentang komponen keuangan pimpinan,  Anggota DPRD, dan biaya kegiatan DPRD. Penghasilan tetap pimpinan dan anggota terdiri dari uang representasi,tunjangan keluarga,uang paket,tunjangan jabatan,tunjngan komisi,tunjangan khusus, dan tunjangan perbaikan penghasilan..
Contoh misal uang representasi :
@ Besar uang representasi ketua DPRD 60% dari gaji pokok bupati / wali kota
@ Besar uang representasi wakil DPRD paling tinggi 80% dari uang representasi                       ketua DPRD
Selain uang representasi Ketua dan Wakil DPRD juga mendapat tunjangan keluarga,  tunjangan beras sama dengan ketentuan anggota PNS, uang paket dan biya perjalanan dinas.
Adapun tunjangan jabatan dan tunjangan komisi
@ tunjangan jabatan pimpinan 50% dari representasi yang bersangkutan.
@ ketua DPRD komisi tertinggi 20% dari tunjangan jabatan ketua DPRD
@ wakil ketua DPRD & sekertaris komisi tertinggi 15% dari tunjangan ketua DPRD
@ anggota komisi tertinggi 10% dari dari tunjangan ketua DPRD.

Jika dengan penghailan yang besar dan berbagai tunjangan yang bermacam2 seharusnya para anggota Dewan bisa memperbaiki kinerjanya dan melaksanakan tuntutan dan aspirasi dari masyarakat. Parpol juga harus lebih jeli dalam pemilihan kader2 politisi agar kebijakan yang di hasilkan berkualitas.

BAB III
PENUTUP


3.1              Kesimpulan

Lembaga Legislatif DPRD di masa Orde baru tidak
Berlaku sesuai prosedur  yang ada di karenakan adanya keterbatasan-keterbatasan kepemimpinan dan keterbatasan hubungan dengan kepala daerah .sebagai mana tugas-tugas dan hak-hak DPRD  yang terbatas karena kepemimpinan yang absolute pemimpin Negara.

3.2              Saran

1.      Mewakili sebagian kecil anggota masyarakat Indonesia,di harapkan Lembaga Perwakilan Rakyat yang seharusnya menyalurkan, memfasilitasi dan menjembatani aspirasi rakyat harus dari tahun ke tahun terbentuk sistem yang relevan dan sesuaidengan sumber hukum negara yaitu UUD 1945.
2.      Sebagai wakil dari  sebagian dari masyarakat Indonesia , diharapkan Anggota DPRD daerah maupun pusat dapat membuat kinerja dan produk yang dapat membuat suatu kemajuan dan ide ide inovatif dalam mengembangkan suatu daerah maupun negara.

0 komentar:

Posting Komentar