BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas dari tutor mata kuliah Legislatif Indonesia.
Makalah ini disusun berdasarkan tugas kelompok, dan kelompok kami mendapat
bagian menyusun materi mengenai Legislatif di Tingkat Lokal. Di mana pada
materi ini di bagi menjadi beberapa kegiatan belajar yang masing-masing akan di
bahas satu-persatu.
Di
dalam materi ini, akan membahas tuntas mengenai Dewan Perwakilan Rakyat yang
berada dalam tingkat daerah/lokal. Di mulai dari pada masa Orde Baru hingga
Reformasi serta membahas tentang mekanisme pembuatan kebijakan DPRD.
1.2
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Sejarah DPRD pada masa Orde
Baru ?
2.
Bagaimana Sejarah DPRD pada masa Reformasi ?
3.
Bagaimana Mekanisme Pembuatan Kebijakan di DPRD ?
1.3 Tujuan
1.
Memenuhi tugas dari tutor mata kuliah Legislatif Indonesia.
2.
Memberikan penjelasan materi secara tertulis kepada mahasiswa dan tutor.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DPRD
Masa Orde Baru
Kedudukan dan peran DPRD pada
masa orde baru di atur melalui UU No.5 Th.1974 tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah. Dalam UU tersebut juga di atur tentang hak dan kewajiban DPRD yang
tidak berbeda dengan DPR.
1. Anggaran
2. Mengajukan
pertanyaan bagi masing-masing anggota
3. Meminta
keterangan
4. Mengadakan
perubahan
5. Mengajukan
pernyataan pendapat
6. Prakarsa
7. Penyelidikan
Dalam pasal 30 yang mengatur
tentang kewajiban DPRD :
1. Mempertahankan,
mengamankan, serta mengamalkan Pancasila dan UUD ‘45
2. Menjunjung
tinggi GBHN, Ketetapan MPR serta mentaati segala peraturan yang berlaku.
3. Bersama-sama
kepala daerah menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah dan
peraturan-peraturan daerah.
4. Memperhatikan
aspirasi dan memajukan tingkat kehidupan
rakyat
5. Selain
itu, DPRD bersama kepala daerah melaksanakan pemerintahan daerah, mengatur dan
mengurus urusan rumah tangga daerah dan tugas pembantuan.
Selama pemerintahan orde
baru, sebagaimana diketahui DPRD tidak berdaya dalam berhadapan dengan
eksekutif. Di karenakan beberapa hal ,diantaranya :
1. Sistem
pemilu yang menempatkan anggota dewan lebih loyal ke partainya.
2. Peraturan-peraturan
yang membelenggu para anggota dewan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya.
3. Adanya
lembaga recall yang membuat anggota dewan merasa ketakutan untuk dipecat
4. Kualitas
latar belakang yang relatif pendidikannya rendah
B.
DPRD Era Reformasi menurut UU No.22
Tahun 1999
Muncul harapan adanya DPRD yang
kuat, yang melaksanakan fungsi dan tugasnya serta mampu mengontrol jalannya
pemerintahan. UU No.22 Th.1999 tentang pemerintahan daerah, DPRD menempati
posisi yang kuat dan setara dengan posisi eksekutif. Posisi yang demikian kuat
itu karena DPRD dibekali oleh sejumlah hak, yang apa bila dijalankan akan
menciptakan mekanisme check and balances .
Hal yang berkaitan dengan hak
yang dimiliki oleh DPRD, pada UU No.5 Th.1974 hanya meminta keterangan
pertanggungjawaban kepala daerah sekurang-kurangnya sekali dalam setahun.
Selain itu posisi DPRD menurut UU
No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mengalami beberapa perubahan :
1. DPRD
tidak lagi menjadi bagian dari pemerintah daerah
2. DPRD
yang memiliki KDH dan dapat mengusulkan pemberhentian KDH kepada presiden
3. KDH
wajib memberikan pertanggungjawaban kepada pada setiap akhir tahun kepada DPRD
4. DPRD
dapat menolak pertanggungjawaban KDH
5. DPRD
dapat memaksa seseorang untuk memberika informasi kepada DPRD
Berikut adalah wewenang DPRD
:
1. Memilih
gubernur dan wakilnya, Bupati dan wakilnya, serta wali kota dan wakilnya
2. Memilih
anggota MPR dan utusan daerah
3. Mengusulkan
dan memberhentikan kepala daerah
4. Bersama
kepala daerah, membentuk perda
5. Bersama
dengan kepala daerah menetapkan anggaran pendapatan dan belanja daerah
6. Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan perda, peraturan perundang-undangan,
pelaksanaan keputusan kepala daerah, pelaksanaan APBD
7. Memberikan
pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah terhadap perjanjian Internasional
8. Menampung
dan menindak lanjuti aspirasi daerah dan masyarakat
C.
DPRD ERA REFORMASI : MENURUT UU NO.32 TH
2004
Dalam UU No.32 Th 2004 ini
posisi DPRD secara politis cenderung lemah dalam berhubungan dengan kepala daerah dan dengan
pemerintah pusat.Di karenakan Kepala daerah mempunyai hubungan dengan
Pemerintah melalui Gubernur sementara DPRD tidak ada,dan DPRD tidak adanya LPJ
Kepala Daerah.
Tugas dan wewenang DPRD dalam UU No.32 Th 2004
1. Membentuk
Perda yang di bahas dengan Kepala Daerah untuk mendapat persetujuan bersama.
2. Membahas
dan menyetujui rancangan Perda tentang APBD bersama dengan kepala daerah.
3. Melaksanakan
pengawasan terhadap pelaksanaan Perda
dan peraturan perundang-undangan lainnya,peraturan daerah,APBD,kebijakan
pemerintah daerah dalam melaksanakan program pembangunan daerah,dan kerja sama
internasional di daerah.
4. Mengusulkan
pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah/wakil kepala daerah kpd Presiden
melalui Menteri Dalam Negeri bagi DPRD provinsi dan Kepala Menterin Dalam
Negeri melalui Gubernur bagi DPRD kabupaten/kota.
5. Memiliki
wakil kepala daerah dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil kepala daerah.
6. Memberian
pendapat dan pertimbangan kpd pemerintah daerah terhadap rencana perjanjian
internasional di daerah.
7. memberikan
persetujuan thd rencana kerja sama internasional yang di lakukan oleh pemerintah
daerah.
8. Meminta
laporan pertanggung jawaban kepala daerah dalam menyelenggaraan pemerintah
daerah.
9. Membentuk
panita pengawas pemilihan daerah.
10. Memberikan
persetujuan terhadap rencana kerja sama antar daerah dan dengan pihak ketiga
yang memberi masyarakat dan daerah.
Hak DPRD yaitu
1. Interpelasi
2. Angket
3. Menyatakan
pendapat
Anggota DPRD mempunyai
Hak yaitu.
1. Mengajukan
rancangan perda
2. Mengajukan
pertanyaan.
3. Menyampaikan
usul pendapat
4. Memilih
dan di pilih.
5. Membela
diri
6. Imunitas
7. Protokoler
8. Keuangan
dan administratif.
Bidang- bidang di dalam
DPRD
1. Komisi A
yaitu Bidang Pemerintahan
2. Komisi B
yaitu Bidang Perekonomian.
3. Komisi C
yaitu di Bidang Keuangan.
4. Komisi D
yaitu di Bidang Pembangunan.
5. Komisi E
yaitu Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Mekanisme Pembuatan kebijakan
di DPRD
A.Peraturan Daerah (Raperda)
Ada dua mekanisme dalam penetapan rancangan peraturan
Daerah (Raperda)
1. Usulan
raperda berasal dari eksekutif
2. Usulan
raperda dari legislatif
Untuk membahas raperda ini ada 4
tahapan
1. Kepala
daerah menjelaskan dalam rapat paripurna tentang raperda
2. Pandangan
atau pendapat umum dalam rapat paripurna tentang raperda
3. Pembahasan
dalam rapat komisi atau rapat panitia
4. Pengambilan
keputusan dalam sebuah rapat tersebut.
Raperda baru bisa menjadi Perda apabila sudah
memperoleh pesetujuan DPRD yang telah ditetapkkan dengan surat keputusan DPRD
dan kemudian ditanda tangani oleh kepala daerah
Usulan dari DPRD disampaikan secara tertulis kepada
kepala daerah DPRD memiliki inisiatif yang terdiri dari 4 tahapan:
1. Pimpinan
rapat gabungan antara panitia kusus dalam rapat paripurna tentang raperda atas
usul DPRD
2. Pendapat
dari kepala daerah dalam rapat tentang raperda
3. Rapat
panitia khusus bersama-sama dengan pejabat daerah yang ditunjuk oleh kepala
daerah
4. Penetapan
keputusan
Penyusunan APBD
Secara prosedural APBD disusun
bersama-sama antara eksekutif dan legislatif
Eksekutif :Menyusun rencana anggaran pemerintah daerah yang terdiri
dari krencana anggaran
pendapatan,dan rencana anggaran belanja rutin maupun belanja pembangunan.
Legislatif :penyusunan rencana anggaran dewan yang di putuskan terlebih
dahulu dalam keputusandewan sebelum di gabungkan dengan anggaran pemerintah
daerah dalam sebuah perda tentang APBD
Penyusunan rencana anggaran
pendapatan diawali dengan,kepala daerah mengirim surat edaran kepada
dinas-dinas seperti dinas pasar,pendapatan daerah.proses penyusunan APBD Dibuat
secara bottom-up dari penggalian usulan program dalam musbangdes (Musyawarah
pembangunan desa ) kemudian Musbangdes dibawa ke forum UDKP (unit daerah kerja
pembangunan) selanjutnya UDKP akan dipilih secara sektoral di dinas pembangunan
masyarakat desa (PMD) untuk diserahkan kepada institut yang terkait.
Impelementasi
Mekanisme Pembuatan Kebijakan
Implementasi mengacu pada tindakan untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan, tindakan ini berusaha untuk mengubah keputusan-keputusan
tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusahamencapai
perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah diputuskan
sebelumnya. Implementasipada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang
seharusnya terjadi setelah sebuah program dilaksanakan.Implementasi kebijakan
tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan
kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan
kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam tataran praktis,implementasi
adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses tersebut terdiri atas
beberapa tahapan yakni:
1.
tahapan pengesahan peraturan perundangan
2.
pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana
3.
kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan
4.
dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak
5.
dampak keputusan sebagaimana yang diharapkan instansi pelaksana
6.
upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan.
Proses
persiapan implementasi setidaknya menyangkut beberapa hal penting yakni:
1.
penyiapan sumber daya, unit dan metode
2.
penerjemahan kebijakan menjadi rencana dan arahan yang dapat diterima dan
dijalankan
3.
penyediaan layanan, pembayaran dan hal lain secara rutin.
Oleh
karena itu, implikasi sebuah kebijakan merupakan tindakan sistematis dari
pengorganisasian, penerjemahandan aplikasi.
Produk dan Kinerja DPRD
Pendahulu
kekuasaan, executive heavy di era Orde Baru yang bergeser ke arah legislative
heavy di Era Reformasi, menempatkan fungsi lembaga legislatif (DPRD)
menjadi sangat strategis. Ketika daerah deberi tanggungjawab mengurus
rumah-tangganya sendiri sebagaimana hakikat otonomi daerah, DPRD memperoleh
wewenang memproduksi sekaligus mengendalikan berbagai kebijakan di daerah.
Pemberian kewenangan tersebut berangkat dari suatu asumsi bahwa keberadaan para
anggota DPRD telah memiliki kemampuan sumberdaya yang dipandang telah memahami
dan mampu menjalankan fungsi, tugas serta komitmennya sebagai pengemban amanat
rakyat di tengah-tengah tuntutan kehidupan masyarakat yang relatif cepat
berubah.
Tidak jarang ditemui bahwa lembaga DPRD sering dijadikan
arena pertarungan bagi para politisi dalam mengejar dan meraih berbagai
kepentingan para politisi. Bagaimana tidak? Dengan posisi yang memiliki peran
sebagai penentu akhir dari produk suatu kebijakan di daerah, para anggota DPRD
memanfaatkan peluang tersebut untuk melakukan “tawar-menawar” yang berorientasi
pada kepentingan politik bahkan materi yang berimplikasi semakin meluasnya
lokus Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Konspirasi. Tindakan “kong-kalikong”
antara para anggota DPRD dan pihak eksekutif untuk memperoleh pekerjaan proyek
daerah, merekrut tanaga honorer daerah tanpa melalui proses yang transparan,
melakukan perjalanan dinas dengan biaya yang amat besar tanpa memperhitungkan
kemampuan keuangan daerah, meminta berbagai fasilitas dengan mengabaikan
kepentingan umum dan mengutamakan kepentingan kelompok politik para anggota
DPRD, serta bertindak seolah-olah mewakili rakyat untuk menutupi perilaku
oligarkis, merupakan potret yang tidak jarang dipertontonkan kepada rakyat.
Kejadian di
beberapa daerah di mana DPRD justru menempatkan diri sebagai lawan eksekutif,
kurang etis, dan cenderung picky atau ikut campur dalam urusan
administrasi pemerintahan daerah. Bambang Yudoyono
(2001) dalam bukunya “Otonomi
Daerah” menulis sejumlah perilaku beberapa anggota DPRD,
diantaranya: (i) Keluar masuk ruangan kerja para pejabat Pemerintah
Daerah (struktural dan fungsional/Pimpro) untuk memeriksa kuitansi, membuka
brankas dan menghitung uang yang ada di dalamnya, menunggui pengerjaan jalan
(pengaspalan) dengan mengukur ketebalan aspal, serta menanyai Pimpro seperti
layaknya seorang inspektur atau pemeriksa; (ii) Meminta fasilitas berupa gaji yang tinggi, kendaraan
setara eselon II di daerah, pakaian dinas lengkap, rumah atau kapling tanah,
dan sebagainya, tanpa menghiraukan kemampuan PAD-nya; (iii) Meminta anggaran untuk DPRD dalam jumlah besar tanpa
perhitungan yang rasional dan proporsional. Di beberapa daerah ditemui anggaran
DPRD yang berjumlah sekitar 60% ke atas dari Pendapatan Asli Daerah. Bahkan ada
kabupaten yang anggaran untuk DPRD mencapai 100% sampai 135% dari PAD. Hal ini
dinilai jelas tidak etis dan tidak rasional. Karena DPRD dalam kedudukannya
sebagai wakil rakyat, jika menggunakan 100% PAD untuk keperluan kegiatannya,
berarti tidak menyisakan penggunaan anggaran untuk kepentingan pelayanan,
perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat sebagai tugas umum yang wajib
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah; (iv) Dalam menggunakan anggaran, di beberapa daerah dijumpai
tidak bersedia diperiksa oleh pejabat dari Inspektorat Daerah. Padahal setiap
sumber dana yang berasal dari APBD harus diperiksa oleh perangkat pemeriksa
daerah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja DPRD adalah
kapasitas pribadi anggota DPRD. Kapasitas pribadi ini berkaitan dengan sejumlah pengalaman yang diperoleh secara sengaja maupun
tidak sengaja dalam kehidupan yang turut mempengaruhi kualitas diri
seseorang sebelum
yang bersangkutan menjadi anggota DPRD. Pengalaman tersebut dapat diperoleh
melalui pendidikan formal maupun non formal, serta berbagai aktifitas sebelum
menjadi anggota DPRD. Secara empirik, tingkat pendidikan para anggota DPRD amat
beragam. Jika dikaitkan dengan tugas yang harus dijalankan oleh setiap anggota
DPRD berkaitan dengan fungsi-fungsi DPRD, bukan hal yang mustahil dibutuhkan
kualitas individu yang benar-benar memahami dan mampu menjalankan perannya
sebagai wakil rakyat dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi lembaga DPRD.
Tingkat pendidikan seseorang turut menentukan kapasitas dan
kualitas seseorang dalam mengemban suatu tugas yang dipercayakan
kepadanya. Sebagai wakil rakyat yang memiliki kewenangan dalam bidang
legislasi, yakni membentuk Peraturan Daerah dibutuhkan kemampuan serta
ketrampilan legal drafting. Begitu pula dalam perannya menjalankan fungsi
anggaran, setiap wakil rakyat dituntut memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi permasalahan, menganalisis, menentukan alternatif pemecahan
masalah, dan memilih salah satu alternatif untuk dituangkan dalam bentuk
program (kebijakan publik) yang akan dibiayai APBD dalam rangka menjawab
tuntutan kehidupan rakyat di daerah. Kemampuan legal drafting dan
kapasitas merumuskan kebijakan publik hanya diperoleh pada jenjang pendidikan
minimal strata-1. Tidak semua jenjang pendidikan Strata-1 memperoleh pengetahuan
dalam bidang legal drafting maupun perumusan kebijakan publik, apalagi
dengan jenjang pendidikan setingkat SMA. Dengan komposisi jenis dan jenjang
pendidikan para wakil rakyat di lembaga DPRD yang amat beragam, jelas akan
mempengaruhi kemampuan wakil rakyat tersebut dalam mengemban peran secara
efektif sesuai dengan fungsi-fungsi lembaga yang teremban padanya. Pengalaman
empirik, dengan berbagai kegiatan work-shop atau diklat yang diikuti
berulang-ulang oleh para anggota DPRD, tidak cukup mampu mendongkrak kapasitas
para anggota DPRD untuk menjalankan fungsi-fungsi lembaga DPRD secara efektif.
Dengan pengalaman yang relatif terbatas bagi anggota DPRD
relatif menyulitkan pula dalam membangun komunikasi dengan pihak eksekutif yang
rata-rata memiliki tingkat pendidikan dan pemahaman dalam bidang tugas mereka.
Tidak mungkin dipungkiri bahwa pihak eksekutif relatif lebih menguasai bidang
tugas pemerintahan jika dibandingkan dengan anggota DPRD. Hal demikian wajar
oleh karena pihak eksekutif merupakan orang-orang yang secara tetap bekerja di
lingkungan pemerintahan, sedangkan anggota DPRD secara periodik 5 (lima) tahun
sekali mengalami pergantian. Praktis anggota DPRD tidak cukup menguasai secara
detail berbagai permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah,
apalagi berbagai data dan informasi berkaitan dengan penyelenggaraan
pemerintahan lebih banyak berada pada pihak eksekutif.
Faktor lain yang juga mempengaruhi kinerja DPRD adalah
motivasi menjadi anggota DPRD. Motivasi berkaitan dengan kemauan yang tulus dari wakil rakyat untuk
benar-benar mengabdi (mengutamakan) kepentingan rakyat. Disadari benar bahwa
faktor ini sulit dideteksi, namun paling tidak, motivasi tersebut dapat
dinampakkan lewat ekspresi sikap dan tindakan para wakil rakyat yang dapat memenuhi
harapan rakyat. Jenis motivasi setiap anggota DPRD akan sangat menentukan kualitas kerja dan kinerjanya.
Bagi yang memiliki motivasi sekedar memperoleh pendapatan (motif ekonomi), diyakini kinerjanya tidak maksimal karena lebih dominan
mempertimbangkan keuntungan-keuntungan ekonomis dari peran-peran politiknya di lembaga
DPRD. Sebaliknya, anggota
DPRD yang motivasinya
terkait dengan peran-peran ideal dari anggota-anggota legislatif sudah tentu
cenderung memberikan (menunjukkan) kinerja kerja yang lebih baik.
KEDUDUKAN KEUANGAN DPRD
PP NO 110 TAHUN 2000 Menjelaskan
tentang komponen keuangan pimpinan,
Anggota DPRD, dan biaya kegiatan DPRD. Penghasilan tetap pimpinan dan
anggota terdiri dari uang representasi,tunjangan keluarga,uang paket,tunjangan
jabatan,tunjngan komisi,tunjangan khusus, dan tunjangan perbaikan penghasilan..
Contoh misal uang representasi :
@ Besar uang representasi ketua DPRD
60% dari gaji pokok bupati / wali kota
@ Besar uang representasi wakil DPRD
paling tinggi 80% dari uang representasi ketua DPRD
Selain uang representasi Ketua dan
Wakil DPRD juga mendapat tunjangan keluarga,
tunjangan beras sama dengan ketentuan anggota PNS, uang paket dan biya
perjalanan dinas.
Adapun tunjangan jabatan dan
tunjangan komisi
@ tunjangan jabatan pimpinan 50% dari
representasi yang bersangkutan.
@ ketua DPRD komisi tertinggi 20%
dari tunjangan jabatan ketua DPRD
@ wakil ketua DPRD & sekertaris
komisi tertinggi 15% dari tunjangan ketua DPRD
@ anggota komisi tertinggi 10% dari
dari tunjangan ketua DPRD.
Jika dengan penghailan yang besar dan
berbagai tunjangan yang bermacam2 seharusnya para anggota Dewan bisa
memperbaiki kinerjanya dan melaksanakan tuntutan dan aspirasi dari masyarakat.
Parpol juga harus lebih jeli dalam pemilihan kader2 politisi agar kebijakan
yang di hasilkan berkualitas.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Lembaga
Legislatif DPRD di masa Orde baru tidak
Berlaku sesuai
prosedur yang ada di karenakan adanya
keterbatasan-keterbatasan kepemimpinan dan keterbatasan hubungan dengan kepala
daerah .sebagai mana tugas-tugas dan hak-hak DPRD yang terbatas karena kepemimpinan yang
absolute pemimpin Negara.
3.2
Saran
1.
Mewakili
sebagian kecil anggota masyarakat Indonesia,di harapkan Lembaga Perwakilan
Rakyat yang seharusnya menyalurkan, memfasilitasi dan menjembatani aspirasi
rakyat harus dari tahun ke tahun terbentuk sistem yang relevan dan sesuaidengan
sumber hukum negara yaitu UUD 1945.
2.
Sebagai
wakil dari sebagian dari masyarakat
Indonesia , diharapkan Anggota DPRD daerah maupun pusat dapat membuat kinerja
dan produk yang dapat membuat suatu kemajuan dan ide ide inovatif dalam
mengembangkan suatu daerah maupun negara.
0 komentar:
Posting Komentar